ini gmbr paper cutting hukuman sebat di pulau sabang hr selasa lps zohor. yg kena sebat seorg polis yg berjudi.
* Dua Terhukum Lainnya Menghilang
SABANG – Anggota Polres Sabang, Brigadir Irwanuddin yang terbukti berjudi, akhirnya dicambuk di halaman sisi kiri Masjid Babussalam, Kota Sabang, selepas shalat Zuhur, Selasa (28/5). Tapi pencambukan itu diprotes warga, karena terhukum kasus maisir lainnya, yakni Muliadi dan Sulastri alias Sule (wanita), keduanya warga sipil, tidak ikut dieksekusi kemarin lantaran keburu menghilang dari Kota Sabang.
Selain ratusan massa, eksekusi cambuk anggota polres itu disaksikan juga oleh Wali Kota Sabang Zulkifli H Adam, Kapolres Sabang AKBP Chomariasih, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Sabang Yacob Saleh, Pelaksana Harian Kepala Kejaksaan Sabang Jazuli, perwakilan Danlanudal, dan Lanal Kota Sabang.
Amatan Serambi, ratusan warga, tak terkecuali kaum ibu yang membawa anak-anaknya, datang dari berbagai penjuru Kota Sabang ke tempat eksekusi.
Eksekusi cambuk baru dimulai pukul 14.16 WIB. Irwanuddin tiba di halaman masjid dibawa naik mobil Kijang pelat merah BL 248 AM milik Kejaksaan Negeri Sabang. Ia mengenakan kemeja lengan panjang merah bata dan berjalan menunduk saat melewati kerumunan warga. Ia langsung dibawa masuk ke ruangan balai samping masjid untuk diperiksa kesehatannya oleh tim medis yang telah disiagakan di lokasi.
Menjelang hendak dicambuk, pihak kejaksaan menyampaikan tata cara uqubat (hukuman) cambuk yang akan diterima Irwanuddin sebanyak enam kali, karena terbukti berjudi. Perbuatannya itu melanggar Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi).
Belum habis pihak kejaksaan memberi penjelasan, tiba-tiba terdengar suara-suara sumbang dari kerumunan warga, begitu mereka mengetahui dua pelaku judi lainnya, yakni Muliadi dan Sulastri, tidak hadir untuk dicambuk bersama Irwanuddin. Warga pun berteriak, tidak adil, tidak adil.
Suasana yang sempat riuh akhirnya reda tatkala sang eksekutor (algojo) bersiap-siap hendak mengeksekusi. Prosesi cambuk berjalan lancar tanpa ada gejolak. Irwanuddin terus menunduk saat digiring petugas menuju ke sebuah balai di kompleks masjid.
Sebagaimana diberitakan terdahulu, eksekusi cambuk itu gagal terlaksana pada Kamis (23/5) siang, gara-gara Wakapolres Sabang, Kompol Saiful B Lubis didampingi dua perwira dan lima petugas provos, menghentikannya. Alasannya ketika itu yang didengar warga adalah terhadap polisi dan tentara tidak berlaku hukum cambuk, karena memiliki hukum tersendiri.
Tapi kemarin, saat ditanyai Serambi, Wakapolres Sabang Kompol Syaiful B Lubis mengatakan, ia tidak bermaksud mencegah eksekusi pada Kamis lalu itu, melainkan hanya ingin meminta Irwanuddin pulang untuk mengganti pakaian dinas Polri dengan pakaian biasa.
Ia juga menyayangkan ketika anggotanya itu akan dicambuk, tapi tidak pernah diberitahukan pihak kejaksaaan, baik secara lisan maupun tertulis, ke Polres Sabang. Menurut Syaiful, malah dia sangat mendukung penegakan syariat Islam di Aceh, termasuk eksekusi cambuk bagi anggota kepolisian yang bersalah.
“Waktu itu saya yang perintahkan agar Irwanuddin diproses lanjut dan dilimpah ke kejaksaan dan mahkamah syar’iyah, saat ditangkap berjudi dengan dua sipil lainnya. Cuma kenapa hal ini tak pernah dikoordinasikan ke kami sebagai pimpinan? Jangankan salinan putusan sidang tertulis, secara lisan saja tak pernah diberitahukan.”
Ia juga menilai ada keganjilan. Sidang oknum polisi itu bersama dua pelanggar lainnya dilaksanakan pada Kamis, 23 Mei 2013, sekira pukul 10.00 WIB. Tapi sekira pukul 11.00 WIB langsung akan dieksekusi cambuk. “Persoalannya siapa yang jamin bila tiba-tiba menjelang Irwanuddin dicambuk, muncul gejolak keluarga atau rekan seangkatannya. Siapa yang bisa membendungnya? Sementara kami dari kepolisian tidak pernah diminta pengawalan,” pungkasnya.
Ia mengaku tahu anggotanya akan dicambuk bukan secara disengaja, melainkan pada saat pulang untuk makan siang. “Begitu lewat di depan masjid, saya lihat orang ramai-ramai dan saya tanya pada anggota Satpol PP. Mereka jawab, ada polisi yang akan dicambuk. Wah, kok saya nggak tahu? Itu saya pikirkan waktu itu. Lalu saya telepon provos untuk mengecek eksekusi itu,” sebut Syaiful.
Begitu ia tahu Irwanuddin datang ke lokasi eksekusi mengenakan seragam dinas, spontan ia minta anggota provos agar mengkoordinasikan dengan kejaksaan agar yang bersangkutan dibawa lebih dulu ke polres untuk mengganti pakaian dinasnya. “Saya pikir, setelah pakaiannya diganti lalu dibawa lagi ke lokasi untuk eksekusi. Tapi ternyata tak jadi dibawa, mungkin karena penyelenggara eksekusi telanjur bubar,” ujarnya.
Syaful mengaku masih mengganjal di hatinya tentang pernyataan saksi mata yang mengutip ucapannya bahwa hukuman cambuk tidak berlaku bagi polisi dan tentara. “Itu tidak pernah saya ucapkan. Kami yang tangkap dan kami yang serahkan ke jaksa kok. Kalau memang kami tidak dukung, untuk apa kami serahkan dia ke jaksa?” ujar alumnus IAIN Sumut angkatan 1991 itu. (mir)
SABANG – Anggota Polres Sabang, Brigadir Irwanuddin yang terbukti berjudi, akhirnya dicambuk di halaman sisi kiri Masjid Babussalam, Kota Sabang, selepas shalat Zuhur, Selasa (28/5). Tapi pencambukan itu diprotes warga, karena terhukum kasus maisir lainnya, yakni Muliadi dan Sulastri alias Sule (wanita), keduanya warga sipil, tidak ikut dieksekusi kemarin lantaran keburu menghilang dari Kota Sabang.
Selain ratusan massa, eksekusi cambuk anggota polres itu disaksikan juga oleh Wali Kota Sabang Zulkifli H Adam, Kapolres Sabang AKBP Chomariasih, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Sabang Yacob Saleh, Pelaksana Harian Kepala Kejaksaan Sabang Jazuli, perwakilan Danlanudal, dan Lanal Kota Sabang.
Amatan Serambi, ratusan warga, tak terkecuali kaum ibu yang membawa anak-anaknya, datang dari berbagai penjuru Kota Sabang ke tempat eksekusi.
Eksekusi cambuk baru dimulai pukul 14.16 WIB. Irwanuddin tiba di halaman masjid dibawa naik mobil Kijang pelat merah BL 248 AM milik Kejaksaan Negeri Sabang. Ia mengenakan kemeja lengan panjang merah bata dan berjalan menunduk saat melewati kerumunan warga. Ia langsung dibawa masuk ke ruangan balai samping masjid untuk diperiksa kesehatannya oleh tim medis yang telah disiagakan di lokasi.
Menjelang hendak dicambuk, pihak kejaksaan menyampaikan tata cara uqubat (hukuman) cambuk yang akan diterima Irwanuddin sebanyak enam kali, karena terbukti berjudi. Perbuatannya itu melanggar Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi).
Belum habis pihak kejaksaan memberi penjelasan, tiba-tiba terdengar suara-suara sumbang dari kerumunan warga, begitu mereka mengetahui dua pelaku judi lainnya, yakni Muliadi dan Sulastri, tidak hadir untuk dicambuk bersama Irwanuddin. Warga pun berteriak, tidak adil, tidak adil.
Suasana yang sempat riuh akhirnya reda tatkala sang eksekutor (algojo) bersiap-siap hendak mengeksekusi. Prosesi cambuk berjalan lancar tanpa ada gejolak. Irwanuddin terus menunduk saat digiring petugas menuju ke sebuah balai di kompleks masjid.
Sebagaimana diberitakan terdahulu, eksekusi cambuk itu gagal terlaksana pada Kamis (23/5) siang, gara-gara Wakapolres Sabang, Kompol Saiful B Lubis didampingi dua perwira dan lima petugas provos, menghentikannya. Alasannya ketika itu yang didengar warga adalah terhadap polisi dan tentara tidak berlaku hukum cambuk, karena memiliki hukum tersendiri.
Tapi kemarin, saat ditanyai Serambi, Wakapolres Sabang Kompol Syaiful B Lubis mengatakan, ia tidak bermaksud mencegah eksekusi pada Kamis lalu itu, melainkan hanya ingin meminta Irwanuddin pulang untuk mengganti pakaian dinas Polri dengan pakaian biasa.
Ia juga menyayangkan ketika anggotanya itu akan dicambuk, tapi tidak pernah diberitahukan pihak kejaksaaan, baik secara lisan maupun tertulis, ke Polres Sabang. Menurut Syaiful, malah dia sangat mendukung penegakan syariat Islam di Aceh, termasuk eksekusi cambuk bagi anggota kepolisian yang bersalah.
“Waktu itu saya yang perintahkan agar Irwanuddin diproses lanjut dan dilimpah ke kejaksaan dan mahkamah syar’iyah, saat ditangkap berjudi dengan dua sipil lainnya. Cuma kenapa hal ini tak pernah dikoordinasikan ke kami sebagai pimpinan? Jangankan salinan putusan sidang tertulis, secara lisan saja tak pernah diberitahukan.”
Ia juga menilai ada keganjilan. Sidang oknum polisi itu bersama dua pelanggar lainnya dilaksanakan pada Kamis, 23 Mei 2013, sekira pukul 10.00 WIB. Tapi sekira pukul 11.00 WIB langsung akan dieksekusi cambuk. “Persoalannya siapa yang jamin bila tiba-tiba menjelang Irwanuddin dicambuk, muncul gejolak keluarga atau rekan seangkatannya. Siapa yang bisa membendungnya? Sementara kami dari kepolisian tidak pernah diminta pengawalan,” pungkasnya.
Ia mengaku tahu anggotanya akan dicambuk bukan secara disengaja, melainkan pada saat pulang untuk makan siang. “Begitu lewat di depan masjid, saya lihat orang ramai-ramai dan saya tanya pada anggota Satpol PP. Mereka jawab, ada polisi yang akan dicambuk. Wah, kok saya nggak tahu? Itu saya pikirkan waktu itu. Lalu saya telepon provos untuk mengecek eksekusi itu,” sebut Syaiful.
Begitu ia tahu Irwanuddin datang ke lokasi eksekusi mengenakan seragam dinas, spontan ia minta anggota provos agar mengkoordinasikan dengan kejaksaan agar yang bersangkutan dibawa lebih dulu ke polres untuk mengganti pakaian dinasnya. “Saya pikir, setelah pakaiannya diganti lalu dibawa lagi ke lokasi untuk eksekusi. Tapi ternyata tak jadi dibawa, mungkin karena penyelenggara eksekusi telanjur bubar,” ujarnya.
Syaful mengaku masih mengganjal di hatinya tentang pernyataan saksi mata yang mengutip ucapannya bahwa hukuman cambuk tidak berlaku bagi polisi dan tentara. “Itu tidak pernah saya ucapkan. Kami yang tangkap dan kami yang serahkan ke jaksa kok. Kalau memang kami tidak dukung, untuk apa kami serahkan dia ke jaksa?” ujar alumnus IAIN Sumut angkatan 1991 itu. (mir)