“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang membawa pembaharuan pemahaman agamanya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah).
Diantara sunnatullah yang berlaku di dunia ini adalah munculnya tokoh pada masa yang sesuai dengan kebutuhan zaman tertentu, sehingga pada setiap penghujung abad Allah mengutus seseorang yang akan membangkitkan agama untuk umat ini dan mengembalikan vitalitasnya.
Sejarah membuktikan bahwa, dalam diri umat yang tengah menderita sakit dan terlelap dalam tidur panjang, sebenarnya menyimpan potensi besar yang sewaktu-waktu, dikala sulit, dapat muncul sebagai kekuatan yang menggentarkan manakala ada seorang pemimpin yang menyadarkan, membangunkan dan membangkitkannya.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Bumi ini tidak akan pernah sepi dari orang yang bangkit karena Allah dengan hujjah.” Bisa jadi tokoh yang hadir memenuhi kebutuhan zaman itu adalah seorang imam besar seperti Umar bin Abdul Aziz; bisa jadi seorang tokoh militer seperti Nuruddin Mahmud atau Shalahuddin Al-Ayyubi; bisa jadi seorang intelektual dan tokoh da’wah seperti Abu Hamid Al-Ghazali; dan bisa jadi seorang Murabbi ruhiyyah (guru spiritual) seperti Abdul Qadir Al-Jailani; bisa jadi seorang pembaharu fiqih, pendidikan, dan pembaharu pemikiran seperti Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyah.
Masing-masing dari mereka melakukan pembaharuan di bidang-bidang yang dibutuhkan oleh zamannya dan lingkungan di mana mereka hidup.
Kondisi umat Islam, khususnya dunia Arab, pada penghujung abad dua puluh ini membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki pemikiran jauh menembus cakrawala ke depan, kepekaan yang prima, iman dan keyakinan yang kokoh, tekad kuat dan mental baja, yang merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan umatnya, mampu mendiagnosa penyakit yang tengah dialami umatnya, menentukan terapi dan obatnya yang tepat, dan sabar mengikuti perkembangan proses pemulihan kondisi umatnya dari masa-masa sakit hingga masa sembuhnya dan kembali bugar serta memiliki stamina prima.
Kilas Balik Sejarah
Pemimpin yang dinanti-nantikan itu adalah Hasan Al-Banna. Seorang yang dikaruniai Allah banyak kelebihan sejak dini, faktor yang banyak mendukung kemampuannya dalam mengemban tugas-tugas da’wahnya. Lingkungan pedesaan di mana ia lahir dan dibesarkan penuh dengan nuansa keagamaan yang kental, jauh dari suasana kota metropolitan dan pengaruh budaya asing yang tidak islami.
Ia dididik oleh ayahnya, seorang ulama hadits yang menyusun dan mengkodifikasi ulang secara sistematis kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal , dan juga para ulama dan ustadz yang shalih, hingga telah mampu menghafal Al-Qur’an sejak usia belia, menghafal Hadits, Syi’ir, dan kitab-kitab matan dalam berbagai disiplin ilmu agama.
Sementara, dalam pembinaan ruhiyah-nya, sejak kecil ia telah bergabung dengan Thariqat Hushafiyah, sebuah thariqat sunniyah (sesuai dengan sunnah Rasul saw), yang berpengaruh pada pembentukan pribadi, watak dan karakternya. Namun ia merasa belum menemukan apa yang tengah ia cari.
Pada usia remaja, ia pindah dari kampung halamannya, Al-Mahmudiyah, ke kota Damanhur, ibukota propinsi Al-Buhairah, Mesir, untuk meneruskan studinya di kota tersebut; bertepatan dengan tengah memanasnya suhu politik dan pemikiran yang mengubah konstalasi sosial, politik, ekonomi, dan pemikiran dekade dua puluhan di Mesir.
Dengan ketajaman mata hatinya dan kecerdasan akal fikirannya, ia mengamati seluruh fenomena empiris di hadapannya, berupa krisis moral, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan pemikiran; yang tengah menggerakkan negerinya menuju lembah kehancuran dan kehinaan. Berbagai persoalan besar itu terus menggayuti fikirannya.
Mengapa umat Islam menjadi seperti ini? Siapa yang dapat menanggung beban mereka ? Bagaimana mengatasi ini semua?. Ia lalu menemui para ulama dan tokoh masyarakat untuk mencari solusi, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang memberi respon positif, selebihnya tidak.
Kemudian Ia menghubungi kawan-kawannya seperguruan di Thariqat Hushafiyah, namun mereka tidak meresponnya dengan serius. Pada tahun kedua di Mesir, ia mengadakan kontak dengan kelompok keagamaan, Jam’iyyah Makarim Al-Akhlaq Al-Islamiyyah, yang kegiatannya lebih banyak pada ceramah tentang agama Islam. Namun ia menilai ini juga tidak akan cukup untuk menghadapi gelombang besar de-islamisasi yang tengah melanda umat.
Menghadapi ini semua, ia pun berkata, “Wallahu a’lam bish-shawab, bermalam-malam kuhabiskan waktu untuk menyelami kondisi umat ini, di mana posisinya di berbagai bidang kehidupan. Aku berusaha menganalisa, mendiagnosa penyakitnya, memikirkan terapi yang tepat serta menentukan obatnya. Hatiku terpanggil berbalut rasa pedih, hingga aku menangis sedih meneteskan air mata...”
Baca lagi(Sini)
Kredit kepada Era muslim.com